SUMSEL.WAHANANEWS.CO,- Transformasi sistem logistik batubara di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, memasuki fase penting. Perusahaan penyedia jasa logistik batubara terintegrasi, PT RMK Energy Tbk (RMKE), memastikan kesiapan melayani jasa angkutan bagi tiga pelanggan baru pada 2026, seiring upaya mengakhiri praktik hauling batubara melalui jalan umum.
Berdasarkan pernyataan resmi perusahaan yang dilansir media nasional, pelanggan baru tersebut yakni PT Menambang Muara Enim (MME). Sebelumnya, sepanjang 2025 RMKE juga telah mengangkut produksi dari dua pelanggan baru lainnya, yaitu PT Wiraduta Sejahtera Langgeng (WSL) dan PT Duta Bara Utama (DBU) yang sama-sama beroperasi di wilayah Muara Enim.
Baca Juga:
Peduli Bencana Sumatera, Yayasan Generasi Rabbani Muara Enim Salurkan Alkes dan Donasi Rp175 Juta
Dengan bergabungnya MME ke dalam jaringan logistik RMKE, perusahaan optimistis pada 2026 seluruh pengangkutan batubara pelanggan di Muara Enim dapat dialihkan melalui jalur logistik khusus terintegrasi berbasis rel, sehingga tidak ada lagi angkutan batubara yang melintasi jalan umum.
Langkah ini sejalan dengan kebijakan pemerintah daerah yang sejak 2025 telah melarang angkutan batubara menggunakan jalan umum karena dinilai menimbulkan dampak serius, mulai dari kerusakan infrastruktur jalan, kemacetan parah, polusi debu, hingga potensi kecelakaan lalu lintas.
Dari sisi bisnis, ekspansi RMKE ini menegaskan posisi perusahaan sebagai salah satu pemain kunci dalam ekosistem logistik batubara Sumatera Selatan. Model bisnis terintegrasi mulai dari hauling di area tambang, terminal khusus, hingga konektivitas ke jalur kereta api menjadi solusi strategis bagi perusahaan tambang yang kini menghadapi tekanan regulasi sekaligus tuntutan sosial.
Baca Juga:
Narkoba Mengintai Desa dan Sekolah, BNNK Muara Enim Andalkan Relawan dan Agen Perubahan
Namun di lapangan, transisi menuju sistem logistik baru ini tidak sepenuhnya berjalan mulus. Sejak larangan hauling jalan umum diberlakukan, sejumlah perusahaan tambang swasta di Muara Enim sempat mengalami penghentian aktivitas karena belum sepenuhnya terkoneksi dengan jalur logistik RMKE. Kondisi ini memicu pro dan kontra di masyarakat, terutama terkait dampak ekonomi dan sosial.
Di satu sisi, masyarakat mendukung penuh penghentian angkutan batubara di jalan umum karena selama bertahun-tahun menanggung polusi, kerusakan jalan, dan kemacetan. Namun di sisi lain, perlambatan operasional tambang berdampak pada penyerapan tenaga kerja, perputaran ekonomi lokal, serta pendapatan masyarakat di sekitar wilayah tambang.
Situasi tersebut menempatkan RMKE pada posisi strategis sekaligus krusial. Keberhasilan perusahaan dalam mempercepat integrasi pelanggan ke dalam sistem logistik rel dinilai akan menentukan kelancaran transisi industri batubara Muara Enim menuju model yang lebih tertib dan berkelanjutan.
Pemerintah daerah pun berharap pada 2026 seluruh rantai logistik batubara dapat sepenuhnya meninggalkan jalan umum. Jika target ini tercapai, Muara Enim akan menjadi contoh nasional bagaimana konflik antara kepentingan industri dan kepentingan publik dapat diselesaikan melalui investasi infrastruktur logistik yang tepat.
Bagi RMKE, 2026 bukan sekadar penambahan pelanggan, melainkan momentum pembuktian bahwa bisnis logistik batubara modern mampu menjawab tantangan regulasi, tuntutan sosial, dan keberlanjutan industri secara bersamaan.
(Redaktur: Hendrik Isnaini R)