SUMSEL.WAHANANEWS.Co, - Muara Enim, Sumatera Selatan, selama puluhan tahun dikenal sebagai salah satu tulang punggung energi nasional. Dari wilayah inilah batubara menopang pembangkit listrik, industri, hingga ekspor yang menghasilkan devisa. Namun kini, daerah penghasil energi itu berada di persimpangan jalan kebijakan yang genting: tambang swasta yang legal, taat pajak, dan berkontribusi bagi daerah terancam tutup per 1 Januari 2026.
Pertanyaannya sederhana, namun dampaknya luar biasa: bagaimana nasib masyarakat lokal jika 1 Januari hauling ditutup?
Baca Juga:
Polisi Sebut Lubang Tambang Batu Bara Sawahlunto Mengandung Gas Metan
Kebijakan pelarangan angkutan batubara melalui jalan umum memang patut diapresiasi dari sisi keselamatan dan ketertiban. Instruksi Gubernur Sumatera Selatan yang melarang keras angkutan batubara melintas di jalan umum adalah langkah tegas yang secara normatif benar. Namun kebijakan yang benar secara regulasi bisa menjadi keliru secara sosial dan ekonomi, ketika solusi pengganti belum siap.
Fakta di lapangan tak bisa disangkal. Hingga hampir akhir Desember ini, belum ada kejelasan maupun angin segar terkait keberadaan jalan khusus batubara. Jalan paralel yang dijanjikan belum tuntas. Akibatnya, aktivitas IUP tambang swasta di Muara Enim terganggu bahkan berhenti total sejak 29 Juni 2025. Sudah lebih dari tiga bulan roda industri berhenti berputar.
Industri Dihentikan, Dampak Sosial Mengintai
Baca Juga:
Pekerja Tambang Sawahlunto Tertimbun dengan Kedalaman 200 Meter
Tambang bukan sekadar lubang di tanah. Tambang adalah ekosistem ekonomi. Ketika satu tambang berhenti, efek dominonya merambat ke mana-mana, pekerja dirumahkan, kontraktor kehilangan proyek, UMKM sekitar tambang kehilangan pembeli, hingga desa-desa lingkar tambang kehilangan denyut ekonomi.
Selama ini, industri tambang membuka lapangan kerja, menyumbang penerimaan pajak dan non-pajak, memperkuat PAD, serta menunjang pertumbuhan ekonomi daerah. Di luar itu, perusahaan juga menjalankan program CSR: pendidikan, kesehatan, infrastruktur desa, hingga pemberdayaan ekonomi masyarakat. Jika tambang swasta dipaksa tutup tanpa transisi yang adil, maka yang pertama terdampak bukanlah pemilik modal, melainkan masyarakat lokal.
Mereka yang menggantungkan hidup sebagai operator, mekanik, sopir, buruh, hingga pedagang kecil.
Lebih jauh lagi, pengangguran masif berpotensi memicu persoalan sosial baru. Kita tidak boleh menutup mata bahwa tekanan ekonomi seringkali menjadi pintu masuk meningkatnya kriminalitas. Ketika perut lapar dan pekerjaan tak ada, stabilitas sosial ikut dipertaruhkan.