SUMSEL.WAHANANEWS.COM - Kami tidak menolak batubara. Kami tidak menolak kereta api. Kami juga tidak anti pembangunan. Tapi hari ini, sebagai warga Muara Enim, kami ingin bicara jujur: hidup kami terjebak di perlintasan kereta api.
Sejak angkutan batubara semakin padat menggunakan kereta api, jalur rel di Muara Enim bahkan dibuat dua track. Dari sisi industri, ini mungkin disebut kemajuan. Dari sisi negara, ini bisa dibanggakan sebagai efisiensi logistik. Namun dari sisi kami, masyarakat yang setiap hari melintas dari Gelumbang hingga Ujan Mas, tentu ini adalah sumber kelelahan, kerugian, dan kemarahan yang dipendam.
Baca Juga:
Ketika Israel Gagal Move On dari Iran
Kereta Lewat, Warga Menunggu Berjam-jam
Di banyak perlintasan kereta api yang tidak memiliki fly over, setiap kali kereta batubara melintas, arus lalu lintas langsung lumpuh total. Antrean kendaraan mengular panjang. Motor, mobil, truk logistik, angkutan umum semua berhenti. Bukan lima menit. Bukan sepuluh menit. Jika antrean kendaraan mengular panjang bisa berkilometer, membuat warga menunggu hingga 1,5 jam, hanya untuk satu kali kereta lewat.
Kondisi ini sangat terasa di Perlintasan Kecamatan Belimbing dan Kecamatan Gunung Megang. Kereta batubara datang silih berganti ada yang mengarah ke ilir, ada pula ke ulu. Satu selesai lewat, yang lain menyusul. Jalan tak kunjung terbuka.
Kami ingin bertanya dengan nada lelah, bukan marah: apakah waktu kami tidak berharga? Setiap menit kami terjebak di perlintasan adalah kerugian nyata: Pekerja terlambat masuk kerja, Pedagang kehilangan pembeli, Sopir logistik gagal tepat waktu, Anak sekolah terhambat, Warga sakit terjebak di jalan
Baca Juga:
Raih Opini WTP Sembilan Kali Berturut-turut, Walikota Jambi : Kolaborasi Untuk Kota Jambi Bahagia
Ini bukan keluhan emosional. Ini fakta keseharian. Ketika kereta batubara melaju tanpa hambatan, ekonomi warga justru tersendat. Padahal Muara Enim adalah daerah penyangga energi nasional. Ironis, daerah yang menyokong logistik justru tersendat logistiknya sendiri.
Kami Tidak Banyak Menuntut. Masyarakat tidak meminta kompensasi uang.
Tidak meminta subsidi. Tidak meminta jalur kereta ditutup. Kami hanya ingin bisa melintas dengan nyaman. Permintaan kami sederhana dan masuk akal: Bangun fly over di setiap perlintasan kereta api.
Jika jalur kereta bisa dibuat dua track, mengapa fly over tidak bisa dibangun paralel?
Jika logistik batubara dianggap strategis nasional, mengapa keselamatan dan waktu warga tidak dianggap sama pentingnya?.
Opini ini kami tujukan langsung kepada PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Kami percaya, BUMN sebesar PT KAI tidak menutup mata terhadap dampak sosial operasionalnya.
Namun hari ini, yang kami rasakan justru sebaliknya: kereta terus melintas, warga terus menunggu. Kami berharap PT KAI tidak hanya menghitung tonase dan jadwal perjalanan, tetapi juga menghitung antrean, menghitung waktu warga, dan menghitung dampak sosial.
Fly over bukan kemewahan. Fly over adalah kebutuhan mendesak. Dengan fly over: Arus logistik tetap lancar, Produktivitas warga meningkat, Ekonomi daerah bergerak, dan Konflik sosial bisa dicegah. Ini solusi win-win. Tidak ada yang dirugikan, semua diuntungkan.
Muara Enim sudah cukup lelah. Tambang berhenti, warga terpukul. Sekarang kereta batubara padat, warga terjebak. Kami tidak ingin pembangunan hanya melaju di atas rel, sementara kehidupan rakyat berhenti di palang pintu. PT KAI masih punya kesempatan untuk mendengar. Pemerintah masih punya waktu untuk bertindak. Bangunlah fly over di setiap perlintasan. Bebaskan jalan kami. Karena ketika kereta batubara melaju, hidup warga tidak boleh berhenti.
(Redaktur: Hendrik Isnaini R)