Sumsel.WahanaNews.co | Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menjaga regenerasi pembuat kain tradisional daerah Kain Songket Palembang karena saat ini lebih didominasi generasi tua.
Kepala Dinas Perindustrian Ernila Rizar di Palembang, Jumat, mengatakan kondisi ini cukup memprihatinkan mengingat semakin sedikit yang memiliki kepandaian dalam pembuatan kain songket ini.
Baca Juga:
Bobi Candra, Bos Tambang Ilegal dengan Kerugian Negara Rp 556 Miliar, Dibekuk di Jakarta
“Ini sejak lama jadi perhatian kami, sehingga dalam beberapa tahun terakhir selalu dilakukan bimbingan teknis (bimtek) untuk pembuatan songket dengan mengajak anak-anak muda,” kata dia.
Ia mengatakan bimtek yang dilakukan secara berkala itu cukup mendapatkan respon positif dari generasi millenial. Sejauh ini, Sumsel memiliki sentra pembuatan kain songket di Palembang, Ogan Komering Ulu (OKU) Timur dan Ogan Ilir.
Selain itu, juga ada beberapa sentra baru yakni Ogan Komering Ilir (OKI), Musi Rawas dan Lahat.
Baca Juga:
Bank Indonesia Sebut Uang Pecahan Rp10 Ribu Tahun Emisi 2005 Tidak Berlaku Lagi
“Justru di daerah baru ini muncul motif-motif baru songket, yang banyak diinisiasi oleh anak-anak muda,” kata dia.
Menenun kain songket membutuhkan teknik tersendiri karena setidaknya dibutuhkan waktu satu bulan untuk menyelesaikan satu lembar kain.
Sementara untuk mempelajari cara membuatnya dengan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), rata-rata dibutuhkan waktu satu hingga tiga bulan.
Kondisi ini terkadang membuat para generasi muda enggan untuk mempelajarinya. Sementara generasi tua mendapatkan kepandaian ini secara turun-temurun.
Bukan hanya untuk membuat kain Songket Palembang, persoalan berkurangnya generasi pembuat kain tradisional juga terjadi pada kain jumputan.
Sri Wahyuni, pelaku usaha kain jumputan di Lorong Sawah, Kelurahan Tuan Kentang, Palembang, Sumatera Selatan, mengatakan, saat ini pembuat motif titik tujuh-motif paling sulit dalam kain Jumputan Palembang hanya dilakukan para lanjut usia.
“Untuk buat motif titik tujuh ini dibutuhkan waktu satu minggu untuk per lembar kainnya, dan ini yang buat tidak ada anak muda yang bisa,” kata dia.
Tingkat kesulitan yang tinggi sehingga membuat generasi muda enggan mempelajari motif titik tujuh ini, sehingga lebih memilih ke motif kain yang lebih mudah pengerjaannya seperti motif lereng.[gab]